MUNGKIN tidak ada diskursus yang paling fenomenal
sejak dunia ini diciptakan hingga hari ini selain diskursus tentang
kitab dan perempuan. Dari sisi penafsiran, kitab suci sering dituduh
bias gender: terlalu berpihak kepada laki-laki. Namun ketika ditanya:
Siapakah diantara kaum perempuan yang dapat dijagokan sebagai eksponen
penafsir kitab suci jawabannya sering meragukan. Belum lagi ada semacam
stigma bahwa kitab suci mengkrankeng dan memasung kaum perempuan. Apakah
benar demikian? Pertanyaan ini sepertinya menarik untuk dijawab. Dan
jawabannya akan penulis carikan dari Bible dan Al-Qur’an. Tentunya ini
hanya sekadar komparasi kecil. Tidak mencakup seluruh ide dan gagasan
tentang keterkaitan kitab suci dan perempuan.
Dari sisi penciptaan, Bible dan Al-Qur’an sepertinya punya tokoh yang
sama tentang perempuan. Dua-duanya menyebut Hawa (English: Eva).
Bedanya, Bible (dalam Kitab Kejadian/Genesis) menyebutnya secara
eksplisit tetapi Al-Qur’an lebih memilih implisit. (Lihat, Qs. al-Nisā’
(4): 1). Bible menyebut Hawa karena dia merupakan sumber segala yang
hidup (Kitab Kejadian 3: 20).
Berkaitan dengan hak demokrasi, dalam istilah modern, kaum perempuan
di dalam Bible mengalami nasib yang kurang beruntung. Karena mereka
tidak diberi hak untuk berbicara, khususnya di rumah ibadah (gereja).
(Korinthus 14: 34). Jika pun mau bertanya, mereka harus bertanya kepada
suami-suami mereka di rumah masing-masing. Alasannya: karena jelek bagi
perempuan untuk berbicara di dalam gereja (Korinthus 15: 35). Ketika
belajar pun mereka harus diam dan tunduk. Bahkan tidak diberi kesempatan
untuk mengajar dan menguasai laki-laki. Karena yang pertama kali
diciptakan adalah Adam baru kemudian Hawa. (Timothius 2: 11-13).
Lebih dari itu, di dalam Bible juga disebutkan bahwa sebenarnya Adam
tidak tersesat, akan tetapi perempuannya (Hawa) yang tersesat.
(Timothius 14: 2). Taat kepada suami pun setara dengan taat kepada
Tuhan, karena dalam Bible laki-laki adalah kepala perempuan, sebagaimana
Kristus dipandangan sebagai pemimpin gereja bahkan penyelamat jasad.
(Efesus 5: 22-24).
Berkaitan dengan siapakah yang lebih mulai dan utama: laki-laki atau
perempuan, Bible menjawab laki-laki lebih mulia dari perempuan. Karena
pemimpin setiap laki-laki adalah Kristus. Dan pempin perempuan adalah
laki-laki. Dan, pemimpin Kristus adalah Allah. (1 Korintus 11: 3).
Laki-laki dalam Bible dilarang menutup kepalanya, karena itu merupakan
citra (gambar) Allah dan kemuliaan-Nya. sementara perempuan merupakan
kemuliaan laki-laki. Laki-laki bukan berasal dari perempuan, sebaliknya
perempuan lah yang beasal dari laki-laki. Karena, laki-laki tidak
diciptakan untuk perempuan, namun perempuan lah yang diciptakan untuk
laki-laki. Lebih dari itu, ternyata perempuan dalam Bible merupakan
“warisan”. (Lukas 20: 29-35). Kalau begitu, apa “warisan” yang diterima
oleh perempuan dalam agama Kristen? Jika pun ada, apakah ada dalilnya
secara kitabiyyah (berdasarkan Alkitab)?
Al-Qur’an Menghargai Perempuan
Berbanding terbalik dengan Bible, Al-Qur’an sangat memulikan
perempuan. Dari sisi penciptaan, Hawa tidak dipangan sebagai bagian dari
tulak rusuk Adam. Ia sama-sama dari jiwa yang satu (nafs wāḥidah). Dari
keduanya (Adam dan Hawa) Allah mengeluarkan banyak keturunan: laki-laki
dan perempuan (QS: al-Nisā’ (4): 1).
Al-Qur’an juga menyatakan bahwa laki-laki tidak lebih mulai dan lebih
terhormat daripada perempuan. Karena dalam Islam ukuran kemuliaan tidak
dilihat dari jenis kelamin (sex or gender), namun dari sisi
ketakwaan. (Qs. al-Ḥujurāt (49): 13). Laki-laki maupun perempuan yang
bekerja (beramal), kata Allah, tetap amalnya tidak disia-siakan
sedikitpun (Qs. Āl ‘Imrān (3): 195). Lebih dahsyat, di dalam Al-Qur’an
malah Allah menjadikan kaum perempuan sebagai contoh (matsal) bagi kaum
beriman, yaitu: Āsyiah istri Fir’aun dan Maryam puteri ‘Imrān sekaligus
ibunda nabi ‘Īsā as. Āsyiah karena keteguhan imannya, di bawah tindasan
laki-laki zalim dan durhaka kepada Allah. Sementara Maryam adalah wanita
suci: mampu menjaga kehormatan dirinya dengan membentengi kemaluannya
(Qs. al-Taḥrīm (66): 11-12). Di sini Allah menyebutkan kedua wanita
penting ini bukan sebagai contoh bagi perempuan saja, tapi bagi seluruh
kaum beriman, laki-laki dan perempuan.
Adam di dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai pelaku maksiat (tidak
taat) kepada Allah ketika dilarang mendekati pohon larangan. Namun
karena digoda terus oleh setan, Adam pun luluh dan mendekati pohon itu.
Kemudian dia menjadi gologan orang-orang yang zalim, terhadap dirinya
sendiri. Akhirnya, dia beserta Hawa plus iblis diturunkan dari surge
(Qs. al-Baqarah (2): 35-36). Oleh karena itu ketika Adam mohon ampun dan
bertobat, Allah menerima tobatnya (Qs. al-Baqarah (2): 37). Dalam ayat
yang lain juga disebutkan hal yang sama: Adam yang bermaksiat dan
akhirnya disesatkan iblis. Namun lagi-lagi, karena Allah Maha Adil dan
Maha Kasih-sayang, tobat Adam diterima oleh Allah (Qs. Ṭāhā (20):
121-122).
Berbeda dengan Bible, yang mengatakan bahwa Hawa ‘pangkal’ dosa dan
kesalahan. Di sini saja Al-Qur’an sangat adil. tidak ada bias
kepentingan dan pembelaan terhadap Adam karena dia laki-laki dan
dipandang sebagai citra dan image Allah. justru di dalam Al-Qur’an,
laki-laki bagian dari perempuan dan perempuan bagian dari laki-laki.
Saling-melengkapi dan saling tolong-menolong, saling bela-membela,
saling-mengisi, sehingga menjadi serasi dan harmoni (Qs. al-Tawbah (9):
71). Dengan gambaran yang sangat indah, Allah menggambarkan hubungan
keduanya: perempuan kalian (istri) adalah pakaian kalian, dan kalian
(para suami) adalah pakaian bagi istri-istri kalian (Qs. al-Baqarah (2):
187). Bahkan, dari sisi hak untuk berbicara, Allah memberikan hak bagi
perempuan, meskipun itu harus mendebat (Lihat, Qs. al-Mujādilah (58):
1).
Dari sisi hubungan-perkawinan, laki-laki harus menghormati perempuan
(istrinya) karena ikatan-perkawinan antara-keduanya merupakan perjanjian
yang kokoh (mītsāqan ghalīẓan, Qs. al-Nisā’ (4): 21). Ikatan ini adalah
ikatan dan perjanjian fiṭrah (kesucian) yang mengikat keduanya: janji
untu saling-mencintai (mawaddah), saling-menyayangi (raḥmah), dan
saling-memberi ketentraman (sakīnah) (Lihat, Qs. al-Aʻrāf (7): 189 dan
Qs. al-Rūm (30): 21).
Dari sisi warisan (mīrāts), kaum perempuan sangat dimuliakan di dalam
Al-Qur’an. Lebih istimewa lagi pembagian warisan itu disebutkan dalam
Sūrat Para Wanita (Sūrat al-Nisā’). Berbeda dengan iklim jahiliyyah
ketika Al-Qur’an belum diturunkan: perempuan tidak mendapat warisan,
sebaliknya malah diwariskan. (Lebih luas, lihat ‘Abd al-Mutaʻāl
al-Ṣaʻīdī, al-Mīrāts fī al-Syarīʻah al-Islāmiyyah wa al-Syarā’iʻ al-Samāwiyyah wa al-Waḍʻiyyah (Kairo: al-Maṭbaʻah al-Maḥmūdiyyah al-Tijāriyyah, cet. II, 1352 H/1953 M. lihat juga, Syekh Aḥmad Muḥy al-Dīn al-‘Ajūz, al-Mīrāts al-‘Ādil fī al-Islām bayna al-Mawārīts al-Qadīmah wa al-Ḥadītsah wa Muqāranatuhā maʻa al-Syarā’iʻ al-Ukhrā (Beirut: Mu’assasah al-Maʻārif li al-Ṭibāʻah wa al-Nasyr, cet. I, 1406 H/1986 M).
Sungguh, Al-Qur’an benar-benar memuliakan perempuan. Dan seharusnya
perempuan bangga ketika ada kitab suci yang mengormati dan
menghargainya. Hal ini demikian, karena Al-Qur’an bukan buatan manusia.
Dia Firman Allah yang sakral. Dan Allah pasti mengerti kebutuhan
hamba-hamba-Nya, maka di dalam kitab-Nya Dia lengkapi dengan ayat-ayat
yang memang menyatu dengan kehidupan para hamba itu. Karena Al-Qur’an
memang untuk manusia (Qs. al-Baqarah (2): 185) yang membawa seluruh
manusia kepada kehidupan yang lebih baik (yahdī lillatī hiya aqwam, Qs.
al-Isrā’ (17): 9). Wallāhu aʻlamu bi al-Ṣawāb.*
Penulis
adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan,
Sumatera Utara. Pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI)
Sumatera Utara. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia:
Study Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme”
(Jakarta: Cakrawala Publishing, 1434 H/2012 M).
Sumber
